Jumlah Pengunjung

Selasa, 24 Mei 2016

al-maqamat dan al-ahwal dalam tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
Pada pembahasan tasawuf kali ini kita akan membahas tentang Al-Maqamat dan Al-ahwal . Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu pemakalah akan membahas tentang Al-Maqamat dan Al-ahwal.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan al-maqamat dan al-ahwal dalam tasawuf ?
2.      Apa saja tahap-tahap al-maqamat dan al-ahwal  dalam tasawuf?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui penjelasan al-maqamat dan al-ahwal dalam tasawuf.
2.      Untuk mngetahui tahap-tahap al-maqamat dan al-ahwal  dalam tasawuf.








BAB II
PEMBAHASAM


A.    AL-MAQAMAT (STASION-STASION) YANG HARUS DI TEMPUH DALAM PROSES BERTASAWUF.
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Kesempurnaan rohani manusia agar dapat berhubungan dengan Tuhan dapat dilakukan melalui amalan-amalan tertentu, seperti yang di peraktekkan di dalam kelompok tarekat, dimana di dalam kelompok ini terdapat sejumlah sufi yang mendapatkan bimbingan dan petunjuk dari seorang guru( mursyid) tentang bacaan-bacaan dan amalan-amalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mencapai kesempurnaan rohani agar dapat berhubungan langsung dengan Allah. Setiap kelompok tarekat memiliki metode, cara dan amalan yang berbeda satu sama  lain. Akan tetapi pada garis besarnya, semua tarekat sepakat bahwa seorang sufi agar dapat mencapai tujuannya harus melalui proses panjang yang terdiri dari 7 stasion( maqom), atau tahapan-tahapan yaitu:
1.      Al-taubah
Menurut sufi, apabila seseorang ingin mendekatkan diri atau ingin melihat Tuhan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah taubat dalam arti yang sebenarnya. Secara garis besarnya para sufi membagi tobat itu kepada tiga tingkatan, yaitu:
a.       Taubat dalam arti meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebaikan secara terus menerus
b.      Taubat ialah kembali dari kejahatan kepada ketaatan karena takut kepada kemurkaanya
c.       Terus menerus bertaubat walaupun tidak pernah lagi berbuat dosa

Bagi sufi, fungsi taubat bukan hanya menghapus dosa tetapi lebih dari itu adalah sebagai syarat mutlak dan sarat yang pertama agar dapat dekat dengan Allah. Oleh karena itu, mereka menetapkan istighfar sebagai salah satu amalan yang harus dilakukan berpuluh bahkan beratus kali dalam sehari agar ia bersih dari dosa.
2.      Al-Zuhd
Tentang zuhd ini, para sufi mengambil ajaran Al-Quran sebagai dasar seperti yang terdapat dalam surat Luqman ayat 33 yang artinya: ...” maka janganlah sekali sekali kehidupan dunia memberdayakan kamu, dan janganlah pula syaitan memperdayakan kamu dalam mentaati Allah”.
Tentang kehidupan dunia ini, Hasan Basri berkata: perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan dilalui jangan membangun apa-apa diatasnya. Dalam kesempatan lain beliau juga pernah mengemukakan: Jauhilah dunia ini karena ia bagaikan ular, lembut dalam elusan tangan, racunnya mematikan. Hati-hatilah terhadap dunia ini, karena ia penuh kebohongan dan kepalsuan.
Menurut sufi, demikian kuatnya dunia dapat mempengaruhi manusia agar jauh dari Allah. Karena itu calon sufi harus membebaskan diri dari ikatan materi agar bebas mendekati Tuhan. Ia harus rela hidup dalam keterbatasan dan serba kekurangan. Harus tabah menyambut pandangan masyarakat yang selalu menilai seseorang dari segi materi. Ingatan herus tertuju hanya kepada Allah. Kelelapan tidur ditengah malam harus diganti dengan zikir dan sujud serta munajat kepada Allah.
3.      Al-Wara’
Wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Tetapi orang sufi memiliki penafsiran sendiri, dimana mereka mengartikan wara’ itu sebagai: meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas persoalannya baik menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan. Bahkan lebih dari itu, ada sufi mengertikan wara’ itu dua macam:
1)      Wara’ lahiriyah, yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhoi Allah, dan
2)      Wara’ bathin yaitu tdak mengisi hatinya kecuali hanya Allah.

4.      Al- Faqr
       Al- Faqr menurut sufi adalah tidak memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhaan primer. Bahkan ada sufi yang mengatakan Al-Faqr itu denagan: tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa selain Allah.
       Mengingat banyaknya godaan dan tantangan yang harus dihadapi dalam menuju Tuhan itu, maka calon sufi harus memiliki sikap mental yang tangguh atau yang sabar, yaitu konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah, berani menghadapi kesulitan dan tabah menghadapi cobaan-cobaan demi tercapainya tujuan, baik godaan yang menyenangkan maupun cobaan yang menyusahkan.

5.      Al-Shabr
         Sabar diartikan oleh sufi sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak letih walau bagaimanapun beratnya tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tidak kenal menyerah, karena segala sesuatu itu terjadi sudah merupakan iradhah Tuhan yang mengandung ujian.
Karena itu menurut sufi sabar adalah suatu sikap mental yang sangat fundamental dalam usaha mencapai tujuan hidupnya yang sangat banyak menghadapi gangguan dan cobaan.
Al-Ghazali membedakan sabar itu kepada beberapa nama yaitu; apabila ketahanan mental itu dihadapkan kepada penanggulagan hawa nafsu perut dan seksual, maka kemampuan mengatasinya disebut iffah, sedangkan kesanggupan menguasai iri agar tidak marah, dinamakan hilm  ketabahan hati untuk menerima nasib sebagaimana adanya disebut qana’ah, sedangkan orang yang berfikir pantang menyerah dalam menegakkan kebenaran isebut sajaah.
6.      Al-Tawakkal
Tawakkal berasal dari kata at-Tawwakkul yang dibentuk dari kata wakala yang berarti menyerahkan, mempercayakan atau mewakili urusan kepada orang lain. Tawakkal mempunyai arti menyerahkan segala perkara, ikhtiar dan usaha yang dilakukan kepada Allah SWT serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya untuk mendapatkan manfaat atau menolak yang mudarat (Ensiklopedi Islam Jl.5,1997:97).
Allah SWT berulang-ulang memerintahkan orang beriman agar bertawakal kepada Allah seperti terdapat dalam:
-At-Thalaq ayat 3
Artinya: “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

-Ali Imran ayat 160
Artinya: Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu'min bertawakkal.

Menurut Al-Ghazali seperti yang dikutip Haidar Putra Daulay mengemukakan gambaran orang bertawakkal itu adalah sebagai berikut:
a.       Berusaha untuk memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepadanya.
b.      Berusaha memelihara sesuatu yang imilikinya dari hal-hal yang bermanfaat
c.       Berusaha menolak dan menghindari dari hal-hal yang menimbulkan mudharat.
d.      Berusaha menghilangkan yang mudharat. (Haidar Putra Daulay,2003:79)


7.      Al-Ridho
Menurut Dzun Nun al-Mishri, Ridho itu ialah menerima kada dan kadar Allah dengan kerelaan hati. Seiring dengan itu Dzun Nun al-Mishri mengemukakan tanda-tanda orang yang sudah ridho ada 3 yaitu:
1)      Meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan
2)      Lenyapnya resah gelisah sesudah terjadi ketentuan
3)      Cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka

Kiranya pengertian ridho ini merupakan perpaduan antara shobar dan tawakkal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Setiap yang terjadi disambut dengan hati yang terbuka bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walau yang datang itu berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira sebab apapun yang datang itu adalah ketentuan dan karunia dari yang maha kuasa. Sikap mental yang seperti ini akan dapat tumbuh melalui usaha demi usaha, perjuangan menikis habis segala perasaan gundah dan benci sehingga yang tinggal dalam hatinya hanya perasaan senang dan bahagia.
Demikianlah 7 maqamat (stasiun) yang harus ilalui oleh calon sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan. Pada tiap-tiap stasiun(maqomat) itu diisi dengan amalan-amalan tertentu dengan cara-cara tertentu pula atau yang disebut dengan tarikat tasawuf.Amalan-amalan tertentu yang berupa tarikat tasawup tersebut misalnya setelah mampu mengetahui secara mendalam tentang syariat yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis.



B.     Al-AHWAL (KONDISI KEJIWAAN DALAM BERTASAWUF)

Menurut sufi Al-ahwal adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Al- hal selalu bergerak naik setingkat demi setingkat kearah yang lebih sempurna sampai ketitik kulmuniasi,yaitu puncak kesempurnaan rohani.
Mengenai jumlah dan formasi al-hal (al-Ahwal) ini sebagian besar sufi berpendapat ada 8 yaitu;

1.      Al-Muraqabah
Al-Muraqabah mengandung pengertian; Adanya kesaaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi. Artinya si makhluk senantiasa dalam keadaan waspada bahwa ia tetap dalam keadaan diawasi oleh khaliqnya, sehingga akan selalu menata dan membina kesucian dirinya.
2.      Al-Khauf
Yang dimaksud dengan al-Khauf menurut sufi adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak sedang kepadanya. Oleh adanya perasaan seperti itu, maka iya selalu berusaha untuk memperbaiki dan lebih meningkatkan amal perbuatannya dan jangan sampai menyimpang dari apa yang yang dikehendak oleh Allah. Perasaan khauf ini timbul karenaa pengenalan dan rasa kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga ia hawatir kalau-kalau yang dicintainya itu melupakannya.
3.      Al-Raja’
Raja’ berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Oleh karena Allah Maha Penyanyang, maka seorang hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia ilahi. Jiwanya penuh penghargaan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena ia merasa hal itu akan terjadi. Perasaan optimis akan memberi semangat dan gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu.
4.      Al-Syauq
Al-Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah. Al-syauq ialah rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengenalan yang mendalam tentang Allah akan melahirkan rasa senang dan gairah, dan rasa senang ini akan melahirkan rasa cinta dan rasa cinta akan melahirkan rasa rindu yang mendalam. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu bergelora ingin selalu bersama Allah
5.      Al-Uns
Al-Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh hanya kepada Allah.  Tak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang ingatan terhadap alam sekitarnya.
6.      Al-Thoma’ninah
Secara harfiah, kata ini berarti tenang,tentram, tidak ada rasa was-was dan khawatir, tidak ada yang dapat meengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang tinggi. Perasaan thoma’ninah ini muncul menurut sufi adalah setelah sufi sudah dekat dengan Allah, sudah dapat berdialog secara langsung dengan Allah, karenanya ia merasa tentram dan bahagia karena sudah sampai pada puncak yang diidam-idamkan.
7.      Al-Musyahadah
Kalau secara harfiah kata musyahadah berarti menyaksikan dengan mata kepala sendiri, maka menurut sufi  musyahadah itu diartikan: menyaksikan secara jelas dan sadar tentang Allah. Jelasnya telah berjumpa dengan Allah.
Ada dua kata yang berbarengan dengan al-musyahadah, yaitu Muhadharah dan  Mukasyafah. Muhadarah adalah adanya perasaan terlah hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya dan sebagai kelanjutannya terjadilah mukhasyafah yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah, dengan demikian tercapailah musyahadah. Dalah situasi seperti inilah terjadi ma’rifah yaitu menyaksikan dan mengenal Allah secara jelas. Pertemuan dan perjumpaan dengan Allah itu oleh sebagian sufi digambarkan seakan-akan masih ada kesenjangan atau jarak antara sufi dengan Allah itu, tetapi sebagian sufi lagi menuturka bahwa ia sudah jumbuh atau bersatu dengan Allah yang disebut dengan istilah ittihad.
8.      Al-Yakin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam kepada Allah dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora ditambah lagi dengan perjumpaan secara langsung dengan Allah, maka tertanamlah dan tumbuhlah perasaan yang mantap dalam jiwa bahwa Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperolah dari pertemuan secara langsung tersebut, itulah yang disebut dengan al-yakin. Dengan demikian, al-yakin itu ialah kepercayaan yang kokoh dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri telah menyaksikannya dengan segenap jiwanya, dan ia telah merasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya.
Mencapai tingkat musyahadah dan al-yakin itu menurut pengakuan para sufi amat sulit dan jarang orang yang memperoleh karunia semulia itu. Mereka sudah menerima karunia semulia itu adalah para wali yang sudah sampai tingkat insan kamil. Apabila seseorang telah mencampai tingkat tertinggi itu bukan berarti selesailah perjuangannya sebagai sufi, sebab karakteristik tasawuf sebagai pengalaman spritual adalah menuntut pengulangan dan pemeliharaan yang tiada hentinya sampai akhir hayatnya.
Bila kita perhatikan isi dari al-ahwal seperti diuraikan di atas, akan terlihat bahwa sebenarnya al-ahwal itu adalah manivestasi atau hasil dari maqom-maqom yang mereka lalui, padahal dikatakan sebelumnya  bahwa al-ahwal itu aalah situasi ke-jiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, buka dari hasil usahanya.
Dalam hal ini yang benar adalah bahwa al-ahwal itu adalah hasil dari maqom-maqom yang dilalui para sufi atau jelasnya hasil usaha sufi. Cuma saja, karena sufi selamanya selalu bersikap hati-hati dan berserah diri kepada Allah, mereka segan dan tidak mau mengatakannya sebagai usahanya, melainkan dikatakan sebagai karunia Allah. Hal ini terbukti dari ucapan sufi itu sendiri yang mengatakan bahwa, kendatipun al-ahwal itu diperoleh sebagai karunia allah, tapi orang yang ingin mendapatkannya harus meningkatkan kualitas amalnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.
2.      Tahap-tahap Al-Maqamat
a.       Al-Taubah
b.      Al-Zuhd
c.       Al-Wara’
d.      Al-Fakir
e.       Al-Shabr
f.       Al-Tawakkal
g.       Al-Ridho
3.       Menurut sufi Al-ahwal adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Al- hal selalu bergerak naik setingkat demi setingkat kearah yang lebih sempurna sampai ketitik kulmuniasi,yaitu puncak kesempurnaan rohani.
4.      Tahap-tahap Al-Ahwal
a.       Al-Muraqabah
b.      Al-Kauf
c.       Al-Raja’
d.      Al-Syauq
e.       Al-Uns
f.       Al-Thoma’ninah
g.       Al-Musyahadah
h.      Al-Yakin






DAFTAR PUSTAKA

Miswar dkk. 2015. Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami.Medan : Perdana               Pubilshing.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar