BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang
memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya
menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui
tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
Pada pembahasan tasawuf
kali ini kita akan membahas tentang Al-Maqamat dan Al-ahwal . Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata
uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi
prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal.
Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang
untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu pemakalah akan membahas
tentang Al-Maqamat dan Al-ahwal.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
al-maqamat dan al-ahwal dalam tasawuf ?
2.
Apa saja tahap-tahap al-maqamat
dan al-ahwal dalam tasawuf?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
penjelasan al-maqamat dan al-ahwal dalam tasawuf.
2.
Untuk mngetahui tahap-tahap
al-maqamat dan al-ahwal
dalam tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAM
A.
AL-MAQAMAT
(STASION-STASION) YANG HARUS DI TEMPUH DALAM PROSES BERTASAWUF.
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari
kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa
Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti
tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba
dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah,
ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti
jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang
sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam
jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Kesempurnaan rohani manusia agar dapat
berhubungan dengan Tuhan dapat dilakukan melalui amalan-amalan tertentu,
seperti yang di peraktekkan di dalam kelompok tarekat, dimana di dalam kelompok
ini terdapat sejumlah sufi yang mendapatkan bimbingan dan petunjuk dari seorang
guru( mursyid) tentang bacaan-bacaan dan amalan-amalan yang harus ditempuh oleh
seorang sufi dalam mencapai kesempurnaan rohani agar dapat berhubungan langsung
dengan Allah. Setiap kelompok tarekat memiliki metode, cara dan amalan yang
berbeda satu sama lain. Akan tetapi pada
garis besarnya, semua tarekat sepakat bahwa seorang sufi agar dapat mencapai
tujuannya harus melalui proses panjang yang terdiri dari 7 stasion( maqom),
atau tahapan-tahapan yaitu:
1. Al-taubah
Menurut sufi, apabila seseorang ingin
mendekatkan diri atau ingin melihat Tuhan, maka langkah pertama yang harus
dilakukan adalah taubat dalam arti yang sebenarnya. Secara garis besarnya para
sufi membagi tobat itu kepada tiga tingkatan, yaitu:
a. Taubat
dalam arti meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebaikan secara terus
menerus
b. Taubat
ialah kembali dari kejahatan kepada ketaatan karena takut kepada kemurkaanya
c. Terus
menerus bertaubat walaupun tidak pernah lagi berbuat dosa
Bagi sufi, fungsi taubat bukan hanya
menghapus dosa tetapi lebih dari itu adalah sebagai syarat mutlak dan sarat
yang pertama agar dapat dekat dengan Allah. Oleh karena itu, mereka menetapkan
istighfar sebagai salah satu amalan yang harus dilakukan berpuluh bahkan
beratus kali dalam sehari agar ia bersih dari dosa.
2. Al-Zuhd
Tentang zuhd ini, para sufi mengambil
ajaran Al-Quran sebagai dasar seperti yang terdapat dalam surat Luqman ayat 33
yang artinya: ...” maka janganlah sekali sekali kehidupan dunia memberdayakan
kamu, dan janganlah pula syaitan memperdayakan kamu dalam mentaati Allah”.
Tentang kehidupan dunia ini, Hasan Basri
berkata: perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan dilalui jangan membangun
apa-apa diatasnya. Dalam kesempatan lain beliau juga pernah mengemukakan:
Jauhilah dunia ini karena ia bagaikan ular, lembut dalam elusan tangan,
racunnya mematikan. Hati-hatilah terhadap dunia ini, karena ia penuh kebohongan
dan kepalsuan.
Menurut sufi, demikian kuatnya dunia
dapat mempengaruhi manusia agar jauh dari Allah. Karena itu calon sufi harus
membebaskan diri dari ikatan materi agar bebas mendekati Tuhan. Ia harus rela
hidup dalam keterbatasan dan serba kekurangan. Harus tabah menyambut pandangan
masyarakat yang selalu menilai seseorang dari segi materi. Ingatan herus
tertuju hanya kepada Allah. Kelelapan tidur ditengah malam harus diganti dengan
zikir dan sujud serta munajat kepada Allah.
3. Al-Wara’
Wara’ adalah menghindari apa saja yang
tidak baik. Tetapi orang sufi memiliki penafsiran sendiri, dimana mereka
mengartikan wara’ itu sebagai: meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas
persoalannya baik menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan. Bahkan lebih
dari itu, ada sufi mengertikan wara’ itu dua macam:
1) Wara’
lahiriyah, yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak
diridhoi Allah, dan
2) Wara’
bathin yaitu tdak mengisi hatinya kecuali hanya Allah.
4. Al-
Faqr
Al- Faqr menurut sufi adalah tidak
memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa yang
telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhaan primer. Bahkan ada sufi yang
mengatakan Al-Faqr itu denagan: tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai
apa-apa selain Allah.
Mengingat banyaknya godaan dan tantangan
yang harus dihadapi dalam menuju Tuhan itu, maka calon sufi harus memiliki
sikap mental yang tangguh atau yang sabar, yaitu konsekuen dan konsisten dalam
melaksanakan semua perintah Allah, berani menghadapi kesulitan dan tabah
menghadapi cobaan-cobaan demi tercapainya tujuan, baik godaan
yang menyenangkan maupun cobaan yang menyusahkan.
5. Al-Shabr
Sabar diartikan oleh sufi sebagai
suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya
tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak letih walau bagaimanapun beratnya
tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tidak kenal menyerah, karena segala
sesuatu itu terjadi sudah merupakan iradhah Tuhan yang mengandung ujian.
Karena itu menurut sufi sabar adalah
suatu sikap mental yang sangat fundamental dalam usaha mencapai tujuan hidupnya
yang sangat banyak menghadapi gangguan dan cobaan.
Al-Ghazali membedakan sabar itu kepada
beberapa nama yaitu; apabila ketahanan mental itu dihadapkan kepada
penanggulagan hawa nafsu perut dan seksual, maka kemampuan mengatasinya disebut
iffah, sedangkan kesanggupan
menguasai iri agar tidak marah, dinamakan hilm
ketabahan hati untuk menerima nasib
sebagaimana adanya disebut qana’ah, sedangkan orang yang berfikir pantang
menyerah dalam menegakkan kebenaran isebut sajaah.
6. Al-Tawakkal
Tawakkal berasal dari kata at-Tawwakkul
yang dibentuk dari kata wakala yang berarti menyerahkan, mempercayakan atau
mewakili urusan kepada orang lain. Tawakkal mempunyai arti menyerahkan segala
perkara, ikhtiar dan usaha yang dilakukan kepada Allah SWT serta berserah diri
sepenuhnya kepada-Nya untuk mendapatkan manfaat atau menolak yang mudarat
(Ensiklopedi Islam Jl.5,1997:97).
Allah SWT berulang-ulang memerintahkan
orang beriman agar bertawakal kepada Allah seperti terdapat dalam:
-At-Thalaq ayat 3
Artinya:
“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
-Ali Imran ayat 160
Artinya: Jika Allah menolong kamu, maka
tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak
memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain)
dari Allah sesudah itu? Karena itu
hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu'min bertawakkal.
Menurut Al-Ghazali seperti yang dikutip
Haidar Putra Daulay mengemukakan gambaran orang bertawakkal itu adalah sebagai
berikut:
a. Berusaha
untuk memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepadanya.
b. Berusaha
memelihara sesuatu yang imilikinya dari hal-hal yang bermanfaat
c. Berusaha
menolak dan menghindari dari hal-hal yang menimbulkan mudharat.
d. Berusaha
menghilangkan yang mudharat. (Haidar Putra Daulay,2003:79)
7. Al-Ridho
Menurut
Dzun Nun al-Mishri, Ridho itu ialah menerima kada dan kadar Allah dengan
kerelaan hati. Seiring dengan itu Dzun Nun al-Mishri mengemukakan tanda-tanda
orang yang sudah ridho ada 3 yaitu:
1) Meninggalkan
usaha sebelum terjadi ketentuan
2) Lenyapnya
resah gelisah sesudah terjadi ketentuan
3) Cinta
yang bergelora dikala turunnya malapetaka
Kiranya pengertian ridho ini merupakan perpaduan
antara shobar dan tawakkal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang
dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Setiap yang terjadi disambut
dengan hati yang terbuka bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walau yang
datang itu berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira sebab apapun
yang datang itu adalah ketentuan dan karunia dari yang maha kuasa. Sikap mental
yang seperti ini akan dapat tumbuh melalui usaha demi usaha, perjuangan menikis
habis segala perasaan gundah dan benci sehingga yang tinggal dalam hatinya
hanya perasaan senang dan bahagia.
Demikianlah 7 maqamat (stasiun) yang harus ilalui
oleh calon sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan. Pada tiap-tiap
stasiun(maqomat) itu diisi dengan amalan-amalan tertentu dengan cara-cara
tertentu pula atau yang disebut dengan tarikat tasawuf.Amalan-amalan tertentu
yang berupa tarikat tasawup tersebut misalnya setelah mampu mengetahui secara
mendalam tentang syariat yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis.
B.
Al-AHWAL
(KONDISI KEJIWAAN DALAM BERTASAWUF)
Menurut sufi Al-ahwal adalah situasi kejiwaan yang
diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Al- hal
selalu bergerak naik setingkat demi setingkat kearah yang lebih sempurna sampai
ketitik kulmuniasi,yaitu puncak kesempurnaan rohani.
Mengenai jumlah dan formasi al-hal
(al-Ahwal) ini sebagian besar sufi berpendapat ada 8 yaitu;
1. Al-Muraqabah
Al-Muraqabah mengandung pengertian;
Adanya kesaaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan
diawasi. Artinya si makhluk senantiasa dalam keadaan waspada bahwa ia tetap
dalam keadaan diawasi oleh khaliqnya, sehingga akan selalu menata dan membina
kesucian dirinya.
2. Al-Khauf
Yang dimaksud dengan al-Khauf menurut
sufi adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak sedang kepadanya.
Oleh adanya perasaan seperti itu, maka iya selalu berusaha untuk memperbaiki
dan lebih meningkatkan amal perbuatannya dan jangan sampai menyimpang dari apa
yang yang dikehendak oleh Allah. Perasaan khauf ini timbul karenaa pengenalan
dan rasa kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga ia hawatir kalau-kalau
yang dicintainya itu melupakannya.
3. Al-Raja’
Raja’ berarti suatu sikap mental
optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi
hamba-hamba-Nya yang shaleh. Oleh karena Allah Maha Penyanyang, maka seorang
hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia ilahi. Jiwanya
penuh penghargaan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada penuh gairah
menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena ia merasa hal itu akan terjadi.
Perasaan optimis akan memberi semangat dan gairah melakukan mujahadah demi
terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu.
4. Al-Syauq
Al-Syauq
atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah. Al-syauq ialah rasa
rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengenalan yang
mendalam tentang Allah akan melahirkan rasa senang dan gairah, dan rasa senang
ini akan melahirkan rasa cinta dan rasa cinta akan melahirkan rasa rindu yang
mendalam. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu bergelora ingin selalu bersama
Allah
5. Al-Uns
Al-Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh
ekspresi terpusat penuh hanya kepada Allah.
Tak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap
kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak
menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang ingatan terhadap alam
sekitarnya.
6. Al-Thoma’ninah
Secara harfiah, kata ini berarti
tenang,tentram, tidak ada rasa was-was dan khawatir, tidak ada yang dapat
meengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan
jiwa yang tinggi. Perasaan thoma’ninah ini muncul menurut sufi adalah setelah
sufi sudah dekat dengan Allah, sudah dapat berdialog secara langsung dengan
Allah, karenanya ia merasa tentram dan bahagia karena sudah sampai pada puncak
yang diidam-idamkan.
7. Al-Musyahadah
Kalau secara harfiah kata musyahadah
berarti menyaksikan dengan mata kepala sendiri, maka menurut sufi musyahadah itu diartikan: menyaksikan secara
jelas dan sadar tentang Allah. Jelasnya telah berjumpa dengan Allah.
Ada dua kata yang berbarengan dengan
al-musyahadah, yaitu Muhadharah dan
Mukasyafah. Muhadarah adalah adanya perasaan terlah hadirnya atau
beradanya Allah dalam hatinya dan sebagai kelanjutannya terjadilah mukhasyafah
yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah,
dengan demikian tercapailah musyahadah. Dalah situasi seperti inilah terjadi
ma’rifah yaitu menyaksikan dan mengenal Allah secara jelas. Pertemuan dan
perjumpaan dengan Allah itu oleh sebagian sufi digambarkan seakan-akan masih
ada kesenjangan atau jarak antara sufi dengan Allah itu, tetapi sebagian sufi lagi
menuturka bahwa ia sudah jumbuh atau bersatu dengan Allah yang disebut dengan
istilah ittihad.
8.
Al-Yakin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas
dan mendalam kepada Allah dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora ditambah
lagi dengan perjumpaan secara langsung dengan Allah, maka tertanamlah dan
tumbuhlah perasaan yang mantap dalam jiwa bahwa Dialah yang dicari itu.
Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperolah dari pertemuan secara langsung
tersebut, itulah yang disebut dengan al-yakin. Dengan demikian, al-yakin
itu ialah kepercayaan yang kokoh dan tak tergoyahkan tentang kebenaran
pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri telah menyaksikannya dengan
segenap jiwanya, dan ia telah merasakan dengan seluruh ekspresinya serta
dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya.
Mencapai tingkat musyahadah dan al-yakin
itu menurut pengakuan para sufi amat sulit dan jarang orang yang memperoleh
karunia semulia itu. Mereka sudah menerima karunia semulia itu adalah para wali
yang sudah sampai tingkat insan kamil. Apabila seseorang telah mencampai
tingkat tertinggi itu bukan berarti selesailah perjuangannya sebagai sufi,
sebab karakteristik tasawuf sebagai pengalaman spritual adalah menuntut
pengulangan dan pemeliharaan yang tiada hentinya sampai akhir hayatnya.
Bila kita perhatikan isi dari al-ahwal
seperti diuraikan di atas, akan terlihat bahwa sebenarnya al-ahwal itu adalah
manivestasi atau hasil dari maqom-maqom yang mereka lalui, padahal dikatakan
sebelumnya bahwa al-ahwal itu aalah
situasi ke-jiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, buka dari
hasil usahanya.
Dalam hal ini yang benar adalah bahwa
al-ahwal itu adalah hasil dari maqom-maqom yang dilalui para sufi atau jelasnya
hasil usaha sufi. Cuma saja, karena sufi selamanya selalu bersikap hati-hati
dan berserah diri kepada Allah, mereka segan dan tidak mau mengatakannya
sebagai usahanya, melainkan dikatakan sebagai karunia Allah. Hal ini terbukti
dari ucapan sufi itu sendiri yang mengatakan bahwa, kendatipun al-ahwal itu
diperoleh sebagai karunia allah, tapi orang yang ingin mendapatkannya harus
meningkatkan kualitas amalnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.
2.
Tahap-tahap
Al-Maqamat
a. Al-Taubah
b. Al-Zuhd
c. Al-Wara’
d. Al-Fakir
e. Al-Shabr
f. Al-Tawakkal
g. Al-Ridho
3. Menurut sufi Al-ahwal
adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, bukan
dari hasil usahanya. Al- hal selalu bergerak naik setingkat demi setingkat
kearah yang lebih sempurna sampai ketitik kulmuniasi,yaitu puncak kesempurnaan
rohani.
4. Tahap-tahap
Al-Ahwal
a.
Al-Muraqabah
b.
Al-Kauf
c.
Al-Raja’
d.
Al-Syauq
e.
Al-Uns
f.
Al-Thoma’ninah
g.
Al-Musyahadah
h. Al-Yakin
DAFTAR
PUSTAKA
Miswar
dkk. 2015. Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami.Medan : Perdana Pubilshing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar